Menaker kembali menjadi sorotan publik usai Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menandatangani Surat Edaran (SE) mengenai larangan diskriminasi dalam proses rekrutmen tenaga kerja. SE ini menekankan pentingnya menciptakan iklim rekrutmen yang adil dan setara bagi semua pencari kerja, tanpa memandang faktor-faktor yang tidak relevan dengan kompetensi kerja seperti jenis kelamin, usia, agama, ras, dan kondisi fisik.
Langkah ini mendapat beragam tanggapan dari berbagai kalangan, salah satunya dari Komisi IX DPR RI yang memiliki fungsi pengawasan terhadap urusan ketenagakerjaan. Lalu, apa sebenarnya isi SE tersebut dan bagaimana tanggapan anggota Komisi IX DPR RI?

Isi Surat Edaran Larangan Diskriminasi dalam Rekrutmen
Penegasan Prinsip Kesetaraan dan Non-Diskriminasi
Surat Edaran Menaker Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Rekrutmen Tenaga Kerja Tanpa Diskriminasi ini diterbitkan pada awal tahun 2024 sebagai upaya memperkuat pelaksanaan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam dunia kerja. Dalam SE tersebut, perusahaan diminta untuk tidak mencantumkan syarat-syarat rekrutmen yang bersifat diskriminatif.
Beberapa contoh diskriminasi yang disoroti dalam SE antara lain:
- Larangan mencantumkan batasan usia kecuali untuk pekerjaan dengan risiko tertentu.
- Larangan mencantumkan preferensi jenis kelamin kecuali dibutuhkan untuk keperluan fungsional atau perlindungan pekerja.
- Larangan menyebutkan syarat berpenampilan menarik, agama tertentu, atau status perkawinan.
Tujuan Dikeluarkannya SE
Menurut Menaker Ida Fauziyah, SE ini bertujuan memberikan perlindungan kepada para pencari kerja agar memperoleh kesempatan yang sama dalam dunia kerja. Selain itu, perusahaan diharapkan mulai membangun budaya kerja yang inklusif dan menghargai keragaman.
“Pekerja seharusnya dinilai berdasarkan kompetensi dan kualifikasi, bukan berdasarkan stereotip atau preferensi personal yang tidak relevan,” ujar Menaker dalam konferensi pers peluncuran SE tersebut.
Tanggapan Komisi IX DPR RI
Langkah Kementerian Ketenagakerjaan ini mendapat tanggapan positif dari beberapa anggota Komisi IX DPR RI yang membidangi ketenagakerjaan, kesehatan, dan transmigrasi. Namun, sejumlah anggota juga memberikan catatan penting terhadap implementasi SE tersebut.

Apresiasi Terhadap Langkah Progresif Kemnaker
Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai NasDem, Nurhadi, menyatakan bahwa SE ini adalah langkah yang tepat dalam menanggapi fenomena diskriminasi dalam lowongan kerja yang kerap terjadi di berbagai platform digital maupun cetak.
“Kita sering melihat lowongan kerja yang mencantumkan syarat usia maksimal 25 tahun, atau harus berpenampilan menarik, bahkan ada yang mensyaratkan status belum menikah. Ini tidak manusiawi dan tidak relevan dengan pekerjaan yang dilamar. Kami mendukung penuh SE ini,” ujar Nurhadi dalam rapat kerja bersama Kemnaker.
Ia juga menambahkan bahwa diskriminasi dalam rekrutmen berpotensi menciptakan ketimpangan sosial dan menutup akses terhadap kelompok tertentu, terutama penyandang disabilitas dan kaum perempuan.
Kekhawatiran atas Penegakan Aturan
Namun demikian, anggota Komisi IX lainnya, Netty Prasetiyani dari Fraksi PKS, memberikan catatan bahwa SE tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan peraturan perundang-undangan. Ia mempertanyakan sejauh mana efektivitas SE dalam mengubah praktik rekrutmen yang telah mengakar.
“Surat edaran memang bagus sebagai panduan moral dan administratif, tapi bagaimana kita memastikan perusahaan benar-benar mengikutinya? Perlu ada mekanisme sanksi atau evaluasi berkala,” kata Netty.
Ia menyarankan agar Kemnaker dapat menyusun Peraturan Menteri (Permen) atau bahkan mendorong pembahasan undang-undang khusus mengenai kesetaraan kesempatan kerja yang memiliki kekuatan hukum lebih kuat.
Perluasan Sosialisasi dan Edukasi
Anggota lain dari Fraksi PDI Perjuangan, Rahmad Handoyo, juga menyoroti pentingnya edukasi kepada perusahaan dan masyarakat luas tentang esensi dari non-diskriminasi dalam ketenagakerjaan.
“Masih banyak perusahaan kecil dan menengah yang belum memahami bahwa mencantumkan syarat jenis kelamin atau usia tertentu itu termasuk bentuk diskriminasi. Jadi perlu ada edukasi masif, baik melalui media maupun kerja sama dengan serikat pekerja dan asosiasi pengusaha,” ujar Rahmad.
Ia mengusulkan agar Kemnaker membentuk tim khusus yang memantau praktik rekrutmen, terutama pada platform digital dan media sosial.

Realita Diskriminasi di Dunia Kerja Indonesia
Data dan Temuan Lapangan
Berbagai survei dan studi telah menunjukkan bahwa diskriminasi dalam rekrutmen masih marak terjadi di Indonesia. Laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2022 mencatat bahwa sebagian besar keluhan masyarakat terkait ketenagakerjaan adalah soal diskriminasi dalam proses perekrutan.
Jenis diskriminasi yang paling umum adalah:
- Usia maksimal
- Wajib berpenampilan menarik
- Harus lajang
- Tidak menerima pelamar disabilitas
- Syarat agama tertentu
Dampak Sosial dan Ekonomi
Praktik diskriminatif ini tidak hanya menimbulkan ketidakadilan, tetapi juga berdampak pada sektor ekonomi. Banyak tenaga kerja potensial tersisih bukan karena tidak kompeten, tetapi karena tidak sesuai dengan stereotip tertentu.
Hal ini memperkecil basis talenta nasional, menurunkan produktivitas, dan menciptakan ketimpangan yang sulit diperbaiki dalam jangka panjang. Negara juga kehilangan potensi besar dari kelompok-kelompok yang termarjinalkan.
Langkah Selanjutnya: Mendorong Implementasi dan Pengawasan
Kolaborasi Pemerintah dan Sektor Swasta
Untuk memastikan SE ini berjalan efektif, perlu sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Kemnaker diharapkan tidak hanya berhenti pada penerbitan SE, tetapi juga melakukan pengawasan aktif dan menyusun laporan berkala terkait implementasinya.
Kolaborasi dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dan serikat pekerja juga sangat penting dalam menciptakan kesadaran kolektif akan pentingnya inklusivitas di dunia kerja.
Digitalisasi dan Pelaporan Praktik Diskriminatif
Kemnaker bisa mempertimbangkan untuk membangun sistem pelaporan digital yang memungkinkan masyarakat atau pencari kerja melaporkan praktik diskriminatif secara anonim. Platform ini juga bisa digunakan sebagai sarana edukasi dan pelatihan bagi HRD dan rekruter.
Pelaporan tersebut perlu diikuti dengan tindak lanjut yang jelas, termasuk teguran administratif atau sanksi bila diperlukan, serta transparansi kepada publik untuk menciptakan efek jera.
Penutup
SE larangan diskriminasi dalam rekrutmen tenaga kerja yang ditandatangani oleh Menaker Ida Fauziyah merupakan langkah penting menuju dunia kerja yang lebih adil dan manusiawi. Tanggapan dari Komisi IX DPR menunjukkan bahwa kebijakan ini disambut baik, namun memerlukan tindak lanjut serius dalam hal implementasi dan pengawasan.
Kesetaraan dalam kesempatan kerja bukan hanya isu moral, tapi juga bagian dari strategi pembangunan sumber daya manusia yang inklusif dan produktif. Jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, kebijakan ini akan membawa dampak positif jangka panjang bagi tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dengan dukungan legislatif, pengusaha, dan masyarakat, harapan terhadap dunia kerja yang bebas dari diskriminasi bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan yang bisa diwujudkan bersama.